Jumat, 02 Oktober 2009

KESEHATAN: LUPUS ERYTHEMATOSUS

LUPUS ERYTHEMATOSUS (GIGITAN SRIGALA).
Otoimunitas: sistem imun yang memproduksi antibodies yang merusak sel-sel tubuh.

Dirangkum oleh W. Purwinto*


Lupus adalah kata dalam bahasa Latin yang berarti srigala. Erythematosus adalah kata
dalam bahasa Greek yang berarti merah. Ada dua versi tentang lahirnya istilah LE
tersebut yaitu, versi tahun 1828 dan 1851. Entah sejarah mana yang benar. Namun kedua
versi tersebut sama-sama menyebut istilah Lupus Erythematosus (LE) sebagai tanda
terjangkitnya penyakit otoimunitas yang mirip gigitan srigala di sekitar hidung dan
pipi si penderita.

Dalam dunia medis di Amerika Serikat, penyakit lupus ini digolongkan sebagai penyakit
rematik. Penyakit rematik tidak terbatas pada artritis. Beberapa diantaranya
melibatkan sejumlah tissue dan organ tubuh tetapi dapat menyebabkan artritis pada
tingkat yang lebih rendah. Permasalahan utama dalam perawatan terhadap
penyakit-penyakit ini tidak berkaitan dengan inflamasi (peradangan) pada persendian
dan melemahnya gerak dan kekuatan akibat dari artritis, namun pada isu-isu yang lain
yang diakibatkan oleh penyakit tersebut.

Usaha perawatan bagi penderita lupus adalah suatu tantangan yang melibatkan semua
sumberdaya, pengetahuan, dan kekuatan dari suatu tim medis. Karena sulitnya
meramalkan, amat individualnya, dan seringkali adanya gejala perubahan dari penyakit
tersebut, ditambah dengan keruwetan akan kebutuhan setiap pasien, adalah tidak
mungkin meramalkan penyembuhan terhadap pasien tertentu berdasarkan hasil penyembuhan
dari pasien lainnya. Mendengarkan secara seksama terhadap apa yang menjadi perhatian
seseorang; suatu pendekatan multidisiplin berdasarkan kerjasama; dan rencana perawatan
yang fleksibel akan memberikan konsistensi, perawatan yang menunjang dan kesungguhan
terhadap pemenuhan kebutuhan-kebutuhan si pasien.

Dalam dunia medis, lupus ini dibagi menjadi tiga kelompok: Discoid LE (DLE), Systemic
LE (SLE), dan Drug-induced SLE.
DLE ditandai oleh adanya ruam kulit saja. Di A.S. gejala ini nampak pada 20% dari
penderita SLE. Luka-luka atau jejas yang diderita bersifat setengah-setengah atau tak
sempurna dan kering, serta berplakat kulit yang tajam yang bisa berparut atau menjadi
bopeng. Luka-luka ini biasanya nampak pada wajah atau bagian tubuh lainnya yang
langsung terkena sinar matahari. Biopsi terhadap luka atau jejas biasanya dapat
memastikan diagnosis. Obat luar dan luka dalam yang disebut corticosteroid adalah
umumnya efektif bagi luka-luka lokal; obat-obat anti-malaria mungkin dibutuhkan untuk
luka-luka yang berkembang. Perkembangan dari DLE ke SLE adalah sangat jarang.

SLE yang seringkali disebut sebagai lupus saja yaitu, suatu ketidak teraturan
multisistem dan peradangan pada sistem kekebalan dalam tubuh yang bersifat kronis.
Atau juga bisa disebut sebagai penyakit peradangan kronis pada persendian. Dalam SLE,
tubuh mengembangkan antibodies yang bereaksi melawan tissue normalnya sendiri.
Response yang abnormal ini menyebabkan banyak manifestasi dari SLE dan bisa menjadi
amat merusak jaringan tubuh. Keadaannya adalah tidak dapat diprediksi dan bersifat
individual; tak ada dua penderita penyakit ini yang mirip satu sama lain.

Lupus ini tidak menular, mengandung infeksi atau membahayakan orang lain. Ini biasanya
berkembang pada para wanita muda pada masa subur, tetapi juga banyak pria dan
anak-anak yang menderita lupus. Di A.S. terdapat paling sedikit 500,000 penderita
lupus yang mana jumlah penderita lupus dari keturunan Afrika dan Hispanik memiliki
frekuensi tinggi dibanding jumlah para penderita berketurunan Kaukasian. Diantaranya,
sekitar 90% penderita lupus adalah wanita. SLE juga lebih sering nampak pada hubungan
keluarga derajat pertama daripada yang terjadi pada populasi yang umum, yang
menunjukkan adanya komponen turun-temurun yang kuat. Sekalipun demikian, pada umumnya
kasus-kasus SLE ini muncul secara sporadis, ini menunjukkan bahwa faktor-faktor
keturunan dan lingkungan sama-sama berperan dalam perkembangan penyakit ini.

Lupus mengakibatkan berbagai ragam penderitaan, dari kasus-kasus yang ringan yang
membutuhkan intervensi minimal, hingga yang berakibat fatal pada organ-orang tubuh
yang vital seperti paru-paru, jantung, ginjal dan otak. Penyakit ini ditandai oleh
tindakan atau sikap yang menggejolak atau membara dan diselingi oleh saat-saat yang
membaik atau semacam pengampunan. Gejolak atau keadaan semakin memburuk ini adalah
akibat meningkatnya proses penyakit tersebut yang nampak dari peningkatan manifestasi
fisik dan/atau nilai-nilai test laboratorium yang abnormal. Masa-masa penyembuhan bisa
memakan waktu mingguan, bulanan, atau bahkan tahunan. Penyakit ini kadangkala
cenderung mereda. Beberapa pasien tak pernah mengalami komplikasi yang berat, dan
nampak semakin membaik bagi pasien yang justru mengalami manifestasi-manifestasi yang
keras atau berat.

Drug-induced SLE berkembang setelah menggunakan obat-obat tertentu dan memiliki
gejala-gejala (symptoms) yang mirip dengan penderita SLE. Karakteristik dari sindrom
ini adalah peradangan pleuropericardial, demam, ruam, dan artritis.
Perubahan-perubahan serolojik juga muncul. Tanda-tanda klinikal dan serolojik biasanya
reda secara bertahap setelah obat-obatan yang mengganggu dihentikan. Dalam jenis SLE
ini terdapat berbagai ragam obat-obatan yang terlibat.

Obat-obatan yang terlibat sebagai aktivator dari SLE.
Obat-obatan yang terbukti hubungannya: chlorpromazine, hydralazine, isoniazid,
methyldopa, dan procainamide
Obat-obatan yang mungkin punya hubungan: beta blockers (acebutolol, atenolol,
metoprotolol, oxprenolol, pindolol, practolol, dan propranolol), captopril,
carbamazine, cimetidine, diphenylhydantoin (phenytoin), ethosuximide, methimazole,
penicillamine, phenazine, dan quinidine.

Gejala-gejala dari SLE.
Gejala-gejala awal dari SLE biasanya tidak jelas, tidak spesifik, dan mudah dikacaukan
dengan ketidak-teraturan fungsional dan patolojikal yang lain. Gejala-gejalanya bisa
bersifat sementara atau berkelanjutan, dan gejala-gejala individual seringkali muncul
tersendiri dari yang lainnya. Seorang pasien bisa punya gejala-gejala yang keras
dengan sedikit hasil dari tes laboratorium yang abnormal, dan bisa sebaliknya.
Rentangan gejala-gejala klinikal bisa tampak pada para pasien yang menderita lupus
berkelamaan. Gejala-gejala SLE terdiri dari arthralgia, arthritis, demam di atas
100"F, ruam dan gatal pada kulit, anemia, kerusakan ginjal, pleurisy, muka yang ruam,
photosensitivitas (sensitif pada sinar matahari atau lampu terang), alopecia (rambut
rontok), gejala Raynaud, serangan mendadak, dan bisul atau borok pada hidung dan mulut.

Mendiagnosis SLE.
Serangan lupus bisa bersifat akut, mirip proses infeksi, atau mungkin suatu
perkembangan dari gejala-gejala yang tidak jelas selama beberapa tahun. Oleh karena
itu, mendiagnosis SLE adalah seringkali menjadi suatu tantangan. Suatu pengujian
medis yang menyeluruh dan konsisten oleh seorang ahli yang paham terhadap lupus adalah
esensial untuk bisa menyelidiki secara akurat. Penyelidikan ini harus terdiri dari
penelitian sejarah kesehatan ybs secara lengkap, ujian fisik, tes laboratorium, dan
observasi secara berkala. Dokter, jururawat dan petugas kesehatan lainnya yang
berusaha merawat si pasien harus berpikir dan bersikap terbuka atas adanya variasi
dari gejala-gejala dan gejala-gejala lainnya yang nampak tak ada hubungannya yang
dialami oleh si pasien. Misalnya, sejarah kesehatan yang rinci bisa menunjukkan bahwa
akibat panas matahari, penggunaan obat tertentu, penyakit akibat virus, tekanan jiwa,
atau gejala-gejala gangguan pada kehamilan, bisa memberikan tanda diagnostik yang
vital.

Tak cukup satu tes laboratorium yang bisa secara tegas menyimpulkan adanya penyakit
SLE atau tidak. Penyelidikan ini termasuk penghitungan darah secara lengkap (complete
blood count), panel-panel penelitian terhadap hati dan ginjal, tes laboratorium untuk
otoantibodi yang khusus (misalnya, antinuclear antibodies (ANA)), tes syphilis (VDRL),
urinalysis, kimia darah, dan ukuran sedimentasi erythrocyte (ESR). Abnormalitas dari
hasil-hasil tes ini akan mengarahkan pada evaluasi lebih lanjut. Tingginya serangan
atau balasan anti-nDNA antibodi atau anti-Sm antibodi adalah tanda-tanda penting dari
adanya lupus. Keaneka-ragaman tes laboratorium, x-ray, dan alat-alat pendiagnostik
lainnya digunakan untuk mengetahui kondisi-kondisi patolojik lainnya dan menentukan
keterlibatan organ-organ tertentu.

The American College of Rheumatology (ACR), suatu organisasi dari para dokter dan
profesional kesehatan yang berspesialisasi dalam artritis dan penyakit-penyakit yang
ada hubungannya dengan tulang, persendian, dan otot-otot, telah mengembangkan dan
menyaring suatu set kriteria diagnostik. Jika paling sedikit ada 4 dari 11 kriteria
yang berkembang pada saat yang sama atau secara individual selama waktu observasi
tertentu, maka si pasien dianggap menderita SLE. Namun demikian, suatu diagnosis
terhadap SLE dapat dilakukan pada seorang pasien yang memiliki lebih sedikit dari 4
gejala-gejala tersebut. Kriteria ini terdiri dari: ruam malar, ruam discoid,
photosensitivitas, bisul atau borok di bagian mulut, artritis, serositis (pleuritis
atau pericarditis), ketidak-teraturan renal/kelenjar ginjal (persistent proteinuria
atau cellular casts), ketidak-teraturan neurolojikal (sizures/serangan mendadak atau
psychosis), ketidak-teraturan hematolojik (anemia, leukopenia atau lymphopenia pada
dua saat atau lebih, thrombocytopenia), ketidak-teraturan immunolojik (positive LE
cell preparation, abnormal anti-DNA atau anti-Sm values, tes false-positive VDRL
syphilis), dan abnormal ANA titer.

Perawatan bagi penderita lupus.
Pengobatannya amat beraneka ragam sesuai dengan keadaan penyakitnya. Sekalipun TIDAK
ADA PENYEMBUHAN YANG PASTI terhadap lupus dan amat sulitnya prediksi guna menentukan
pengobatan/penyembuhan yang efektif bagi penderita lupus tertentu, ada konsensus atas
beberapa cara penyembuhan. Misalnya: si pasien harus dalam keadaan istirahat fisik dan
emosi, tak boleh terkena sinar matahari atau sinar lampu yang terang, diet yang sehat
dan nutrisi yang baik, infeksi harus disembuhkan dengan segera, menghindari alergi
yang memperburuk keadaan. Jika harus ada pembedahan, maka ini harus ditunda hingga
lupusnya mereda. Perawatan symptomatik di rumah sakit diperlukan untuk pengobatan dan
pengawasan kesehatan yang seksama, kecuali untuk prosedur yang ringan. Para wanita
yang menderita SLE seringkali mengalami keguguran dan melahirkan secara prematur
dibanding wanita sehat lainnya. Untuk ini diperlukan pertolongan dari dokter ahli
kandungan (obgyn) yang paham lupus. Pendidikan keluarga dan pasien tentang medikasi
dan efek sampingannya amat penting. Beberapa pasien tidak dipersyaratkan untuk
medikasi. Medikasi berguna untuk mengontrol gejala-gejala dan manifestasi-manifestasi
tertentu. Aspek-aspek psikososial perlu diperhatikan. Biasanya faktor emosional yang
berhubungan dengan penyakit kronis akan menyebabkan kelelahan dan kesedihan. Ini
membuat si pasien merasa terisolasi dari keluarga dan teman-temannya. Pasien yang
menderita lupus seringkali sedih, tertekan dan marah sebagai reaksi terhadap
penyakitnya. Perlu disediakan petugas sosial, sukarelawan, ahli psikologi untuk
membantu keluarga maupun si pasien agar bisa memahami dan menenangkan atau menyabarkan
diri dalam mengatasi penderitaan tersebut. Informasi tentang penyakit lupus dan
pengalaman mengatasi penderitaannya dari berbagai penderita lainnya, penerbit atau
organisasi seperti the Visiting Nurses Association (VNA), the Lupus Foundation of
America (LFA), dan the Arthritis Foundation (AF) perlu disediakan untuk menambah
pengetahun si pasien, keluarganya dan siapa pun yang terlibat dalam perawatannya.
Toleransi si pasien terhadap kegiatan fisiknya dan kebutuhan untuk mengontrol apa yang
ia bisa lakukan perlu dihormati. Si pasien perlu dilibatkan dalam pengembangan rencana
perawatan dan jadwal kegiatan harian. Cara terbaik untuk mengobati lupus adalah
mendengarkan kata-kata si pasien, sekalipun ia telah didiagnosis hari ini atau
beberapa tahun yang lalu. Kerjasama kelompok antara para ahli, juru-rawat, petugas
lainnya dan keluarga adalah amat penting untuk mengurangi penderitaan si pasien.


*Catatan:
Tulisan ini merupakan hasil penelitian kepustakaan yang dilakukan oleh W. Purwinto,
seorang peneliti dan anggota pengurus Phi Beta Delta (Honor Society for International
Scholars), Alpha Sigma Chapter, Syracuse, New York. Tulisan ini didedikasikan kepada
si jelita almarhumah Archie (11 tahun) yang telah wafat pada hari Kamis 8 November
2001 di Jember, Indonesia, akibat menderita SLE.

Sumber kepustakaan:

(1) Brewer Jr., M.D., Earl J. and Kathy Cochran Angel. The Arthritis Sourcebook. NTC
Contemporary Publishing Group: 1998.

(2) Tan E. "The 1982 required criteria for the classification of systemic lupus
erythematosus." In: Arthritis and Rheumatism. American College of Rheumatology: 1982.
Used with permission of Lippincott-Raven Publishers.

(3) The Bulletin on the Rheumatic Diseases. 1991. Used by permission of the Arthritis
Foundation of America.

(4) The National Institute of Arthritis and Musculoskeletal and Skin Disease of The
National Institutes of Health. Lupus Erythematosus. Last revised, January 26, 1999.

(5) Well-Connected Report: Systemic Lupus Erythematosus. Nidus Information Services,
Inc.: 1999

Tidak ada komentar:

Posting Komentar