Rabu, 10 Juni 2015

DIA

Entah berapa lama ia duduk termangu didepan komputer, jarinya di atas keyboard seolah siap menuangkan apapun yang ada dalam pikirannya namun diam tak bergerak. Pandangannya kosong memandang layar komputernya yang mulai meredup, sesekali ia menarik nafas panjang. Ia tak lagi mendengar percakapan disekitarnya, mendadak dunia kosong dan hanya ada dirinya. Ia sibuk bermain dalam pikirannya yang tak terbaca.

Aku tanpa sadar memandanginya, gadis manis yang duduk berhadapan denganku. Rambutnya yang hitam panjang terlihat acak-acakan, tak seperti biasanya, lurus rapi tergerai. Wajahnya yang biasanya cerah ceria, bibirnya yang selalu tersenyum dan siap mengeluarkan celetuk-celetukan lucu, kini kusam dan layu. Aku sedikit merasa kuatir, sedikit penasaran apa yang terjadi padanya. Aku ingin bertanya, ingin sekedar menunjukkan simpatiku pada apapun masalah yang sedang dihadapinya. Tapi, ah, rasanya berlebihan. Mungkin dia hanya sedang ingin ditinggalkan sendiri dalam apapun yang ada dipikirannya.

Jam tanganku menunjukkan pukul dua belas, sudah waktunya makan siang. Dia tak ada dimejanya. Kapan dia beranjak, kenapa aku bisa tak menyadarinya. Mungkin dia sedang keluar makan siang, pikirku mengabaikan bisikan menggelitik disudut alam sadarku bahwa ia tak biasanya seperti ini. Namanya Irma, berkulit putih, bermata besar, sedikit tomboy tetapi memiliki wajah sepolos bayi. Jika ada orang yang tak punya masalah, sepertinya dia orang yang tepat. Wajah lugu itu selalu berhasil membuatnya lolos dari masalah, kami juga sering memanfaatkannya dan ia juga tak pernah terlihat keberatan jika ditempatkan dibaris pertama ketika atasan sedang mengalami hari yang menyebalkan.
Ketika aku kembali dari makan siang, aku melihatnya sedang merapikan meja kerjanya. Wajahnya masih pucat, lesu, namun senyum terukir diwajahnya. “Hai” sapaku, ia tersenyum lebar.

“Kamu sakit?”
“Sedikit”
“Oh..”, aku menarik kursiku dan mendudukinya, “Pulang aja kalau sakit”
“Iyah, ini juga mau pulang”

Ia mengalihkan wajahnya, sibuk merapikan kertas-kertas diatas mejanya. Aku seperti melihat genangan di sudut matanya, namun ku abaikan karena ku rasa itu bukan urusanku.
“Duluan ya” katanya, aku tersenyum mengangguk. Kembali ada yang menggelitik disudut alam sadarku, dorongan halus untuk memeluknya, namun kurasa hal itu kurang pantas dilakukan di tempat kerja.
Aku membuka pintu kontrakanku tanpa semangat, pikiranku masih digelayuti tentang Irma. Kelinci kecilku pun tampak tak bersemangat hari ini, ia tak menyambutku seperti biasa, ia hanya duduk setengah berbaring di bawah kursi tempatku biasa duduk untuk menonton tivi. Ia mengikuti pergerakanku dengan kepalanya, ia bahkan tak bergeming ketika aku mendekatinya, hidung kecilnya itupun tak bergerak seperti biasanya. Handphoneku tiba-tiba berdering singkat, sebuah pesan. Aku mengabaikannya sebentar karena ingin bermain dengan kelinciku, namun ia tak merespon. Aku meraih handphoneku dan membuka pesan ini, sebuah pesan massal, tampaknya link internet. “Ah, paling spam” gumamku, namun judul link tersebut menarik perhatianku. Aku membukanya dan air mataku langsung mengalir ketika membaca headline berita yang kubuka.

SEORANG KARYAWATI DITEMUKAN TEWAS
SETELAH TERJUN DARI LANTAI 6 PARKIRAN MALL XXXXX


Minggu, 25 Januari 2015

My Special Sunday

Another Sunday morning is coming, but today it’s become a little bit different than my usual Sunday morning. Well, today will got many difference than my usual vocation. I was in Jakarta – Indonesia Capital City - for these five days, and today will back to Medan – the city where I do live.

I come from Medan to Jakarta with 7.50 WIB flight at Wednesday January 25, 2015 for work reason. My company head office was here in Jakarta, and there is some work I have to do there. Sky was so clear that day, not like lately weather in Medan.

I managed to finish my task faster so I get some free time on Saturday, I have been planned to go back at Sunday (today). My friend and I want to visit Safari Park in Cisarua-Bogor on Saturday, so I bought my ticket at Friday afternoon. In my mind, my eyes and all my memory told me that I was buy airplane ticket for 16.20 WIB flight on Sunday 25 January 2015. I feel at ease because I already spare much time to go to Church at Sunday before me going to the Airport. I got the reminder short message, and even download the ticket from e-mail. I read it many times and really sure that my flight was on 16.20 WIB. Then, finally the Sunday is coming. I feel so comfortable and don’t think much, I prepare myself to go to church with my friend. Everything already prepared well, I think. I even have time to eat lunch with her before I go to Gambir Station to go to Soekarno-Hatta  Airport by bus.

And the sudden shock come to me when I already on the Bus, I read my ticket and realize that I already miss my flight. It is not 16.20 WIB flight I buy, its 12.20 WIB flight and my watch show 13.30 WIB. I check the reminder short message and it is for 12.20 WIB. What going on me, why I cannot see it. Hurriedly buy another ticket and got 19.30 WIB Flight which expensive. Now I do double check, I read word by word and number by number, worried that I miss something.

Spending IDR 690.000 for nothing feel suck, but thanks God, I still got some ticket to come back home or I will get punishment for absent. But for coming late, I got another experience at the Airport. I meet two middle age women that bring to many handbags for them to handle, and it quite heavy. I offer them a help, to bring one bag for them. One of them, the older, is going first with the escalator. In the middle way, she suddenly stumbles over because of the heavy handbags and rolled down. A nice young man catch her but he become stumble too and start falling, the second woman run try to catch but follow to fall because of the working escalator. I run and push the emergency stop button, the second woman was in my side, the older woman was under her and the young man somehow still standing and I nearly kiss his shoes (not romantic meeting LOL) .

Many people come to us with caring attitude, everyone want to help those women, but instead of helping, they just disturbing and make those women cannot stand. So I reach out to the oldest and take the heavy box that disturbing her so she can stand and take them with me to the elevator for people in need. The elevator cannot take three of us with all the baggage, even when I get out, it still exceed. I have to take one bag with me and leave them alone. I can see the worried sight in their eyes, I don’t know they feel sorry because I cannot go with them in the elevator or worry I will take their belonging away. So I go up running by stairs, nearly run out of breath, but too shy to say. Acting cool, I stand in the front of the elevator (which a bit slow I guess for one floor up) waiting for them. Take another heavy box with me and go to waiting room checking gate. And yet another thing held me back, the box I bring questioned by the officer. Of course I cannot answer what is in it, it is not mine. So I need to wait there until the owner coming and explain and let that box to recheck. We are lucky that nothing illegal in it. I take them to their waiting room gate and leave them there. I am tired, nearly out of breath (I almost never take sport), but acting cool when they come after me. Seeing their ‘thankfully’ eyes and warm thank you make me think that it is worthy. I feel at ease now wait for my flight at the lounge and write it down before I am too busy and forget it.


Kamis, 22 Januari 2015

Prioritas..oh..prioritas

Deani berusaha berjalan senormal mungkin, seanggun mungkin, sedikit risih, sedikit malu, sedikit ragu, sedikit gugup, sedikit senang melihat semua mata memandang dia. Jantungnya berdebar-debar, mata memandang ke depan, tas tangan digenggam erat. Deani tak pernah diperlakukan istimewa, malah terkadang disepelekan, tetapi hari ini berbeda, hari ini ia prioritas.

Bukan, ini bukan kiasan. Hari ini Deani benar-benar prioritas. Ketika Deani terhalang tumpukan manusia yang mengantri, tiba-tiba seruan "Prioritas..prioritas" terdengar dan dengan ajaib barisan tersibak dan memberinya jalan. Perasaannya bercampur aduk, langkahnya sedikit limbung, dan mendadak puluhan tangan datang membantu, memapahnya agar jangan sampai terjatuh.

Mendadak ada yang peduli, membuat Deani tersenyum kecil. Seorang pemuda dengan senyum tulus, mengulurkan tangan sambil menahan pintu, Deani menyambut tangan yang terulur, membiarkan dirinya dibimbing masuk.

Deani memandang kekiri dan kekanan, tak ada tempat tersisa. Kembali keajaiban kata 'Prioritas' terdengar, nyaris semua orang berdiri, memanggilnya dan memberi tempat, untuk Deani mereka rela berdiri. Ah, memang nikmat jadi prioritas, pikir Deani yang biasa dianggap tiada. Walaupun untuk sementara, setidaknya sampai ia melahirkan.

Selasa, 13 Januari 2015

Kenangan Petir

Jam dinding menunjukkan pukul 15.00 WIB, awan gelap memenuhi langit. Dahan-dahan pohon berayun kasar, petir menyambar, guntur menggelegar. Matanya nanar memandang jendela, sesekali cahaya petir menerangi tubuhnya. Rambutnya yang panjang kusut tergerai, tangannya mengepal diatas pangkuan. Duduk disisi ranjang bersprei putih, kakinya menyentuh lantai dingin tanpa sandal.

Gelegar petir melemparnya ke sudut gelap diantara dua buah gedung perkantoran, hujan meredam teriakan saat pria tak berwajah mencabik-cabiknya. Ia menangis, meronta, si pria tak peduli malah tertawa. Ia memohon, memelas, mata si pria tertutup, mengerang. Si pria menarik celana, menghempasnya dalam tempat sampah, telanjang, tak berdaya.

Matahari terbit, menyinari wajahnya, ia bangkit, bau sampah menyeruak. Terseok keluar dari tumpukan sampah, meraba-raba pakaian yang terserak. Nyeri disekujur tubuh mengingatkan betapa lemahnya ia, bahwa masa depannya sudah luluh lantak. Ia lusuh, kotor dan berdarah tetapi tak ada yang bertanya, atau sekadar menawarkan bantuan.

Petir kembali menyambar, menarik ke kenyataan yang berbeda. Ia duduk sendiri di seberang meja seorang dokter yang tampak baik hati. Ia bingung, linglung. Ia mengandung, benih nafsu pria tak berwajah, ia harus menanggung malu, seolah ia tak cukup terluka. Sebatang kara, terlecehkan, kini harus menanggung janin haram.

Kini petir membawanya ke tepian gedung, tempat ia duduk termenung. Lalu lintas dibawahnya bagai semut, menggodanya untuk terjun. Ia menarik nafas panjang, menengadahkan kepala, memandang langit, menikmati matahari. Dibelainya perut yang membuncit, bibirnya tersenyum pahit. "Tuhan....." gumamnya tanpa lanjutan, bumi masih berputar, hidup masih berjalan.

Suara desir kursi roda yang didorongnya terdengar sayup-sayup, "Suster, tolong ke kamar 205 yah" seru seseorang padanya. Ia mengangguk, berjalan pelan ke kamar yang diminta. Mendadak jantungnya berdesir kencang, walau didepannya tak pernah ia kenal. "Jangan dia, suster lain saja" teriak sang pasien.

Ia tertatih berjalan menjauhi ruangan, perlahan si pria tak berwajah mulai tercipta wajahnya. Semua luka itu, tamparan dan tinju, ketika  ia runtuh dan hancur luluh menciptakan wajah si pria tak berwajah.

Cahaya petir menyambar sesekali menerangi wajahnya, rambutnya yang kusut tergerai, tangannya yang mengepal, sesosok tubuh yang meringkuk di lantai. "Tidak..kamu sudah mati..kamu sudah mati" gumam tubuh di lantai. "Yah aku sudah mati, saat itu dipinggir gedung. Lalu kau pikir aku akan pergi sendiri? Membiarkanmu menikmati hidup?".

Senin, 12 Januari 2015

(FF 100 kata) Dean

Arrrrgggghhhh.......

Dean membanting handphonenya ke dinding, matanya nanar memandang langit-langit, setengah tubuhnya merosot ke lantai. Nafasnya berat, sedikit terengah-engah karena kesal. Rekan-rekan kerjanya terlihat tak menggubris, walau wajahnya meringis, seolah menahan sakit. Keningnya berkerut-kerut, tangannya memukul-mukul, seolah lantai akan memberikan jawaban jika ia terus mengetuk.

Semenit, dua menit berlalu dalam hening, hanya suara keyboard komputer terketik. Tak ada yang bereaksi, atau sekedar mendekati. Suara dering telepon dimejanya tak membuat ia bergerak, atau sekedar berpindah tempat.

 "Kenapa, lo?" akhirnya ada yang peduli, meraih handphone setengah retak tergeletak di lantai dan menyerahkannya pada sang pemilik.

"Kesel gua, kalah mulu main 'Get Rich'".

Jumat, 09 Januari 2015

Failed Dog (dolls)

Selamat Tahun Baru semuaaaaaaa........

Hayo, siapa yang berhasil memenuhi resolusi tahun 2014? Atau malah nggak pernah buat resolusi?
Kalau kamu tidak pernah buat resolusi berartiiiiiii....kita sama saudara-saudara (shy...hahahaha).
Nah untuk tahun 2015 ini, saya pun membuat resolusi. Saya ingin membuat sesuatu yang 'cute', well.. berhubung salah satu hobby saya ini yah itu menjahit. Sebenarnya sih ini bukan resolusi baru hahaha, ini keinginan tahun-tahun kemarin yang menghilang dan kemudian muncul lagi lalu saya jadikan sebuah resolusi :-D .

Belakangan ini, saya suka sekali membuka situs 'Pinterest.com'. Ada yang seperti saya? hayoo ngacung.
Yup, itu situs kesukaan saya saat ini. Mengalahkan situs 'muka buku' atau 'burung biru' yang sangat booming saat ini. Disitus itu, apa aja ada (bukan promosi loh yaaa). Tetapi Pinterest itu awalnya terkenal sebagai situs DIY (Do It Yourself), alias situs dimana kita-kita bisa melihat tips dan tutorial ketika orang lain melakukan atau membuat sesuatu.

Nah, saya sering sekali mengubek-ngubek situs itu. Terutama dibagian Craft and Hobby, DIY, etc. Saya mencari tutorial boneka-boneka lucu dan..taraaaaaa...muncul banyak sekali tutorial free (for personal use only) yang bisa diadaptasi (baca *ditiru*) daaaaan...terlihat mudaaaaaaaah.
So, saya pun jatuh hati dengan sebuah 'pattern' anjing kecil yang imut dan terlihat sederhana. Dengan semangat Januari 2015, mulailah saya menggunting-gunting pattern persis seperti yang diberikan. Ok, easy part. Sekarang menjahit, ah gampang...tinggal sambungkan bagian ini dengan bagian itu. Ikut saja tutorialnya :-D , hasilnya pasti imut-imut seperti yang dicontohkan.

Setidaknya itu yang saya pikirkan, tetapi hasilnya....duuuuh..lihat saja lah fotonya. T.T


Sebelah kiri adalah contoh dari Pinterest, lucukaaaan... Sebelah kanan hasil buatan saya daaaaaannnn tidak ada imut-imutnya.

Yup, saya gagal saudara-saudara. Boneka anjing yang harusnya imut-imut itu menjadi mirip anjing hasil percobaan mr Frankenstein hahaha-hiks. Malah ketika teman-teman saya melihat, boneka anjing sebelah atas itu lebih mirip ajing laut, ada yang bilang mirip gajah (heloooo...belalainya mana..) dan boneka yang dibawah lebih cocok jadi kambing (dimana miripnya coba....-berusaha membela-).

Jadi, saudara-saudara.... ini memberikan pelajaran untuk tidak menganggap remeh sesuatu (lho?). Lha ternyata sesuatu yang terlihat mudah dan sederhana, tidak selalu demikian.
Lalu apakah saya menyerah? hmm..belum tahu yah. Sekarang sedang mau coba yang baru, belajar yang lebih simple dari pada yang ini. :-D

Semoga nanti saya berhasil membuat sesuatu yang imut-imut :-D.