Rabu, 11 Desember 2013

The Story before My Wedding Ceremony

Sepuluh November Dua Ribu Tiga Belas (10-11-'12), my big..big..big day. It was my marriage day..yay!
Duh maaf, kelepasan jadinya hahaha.. :-P
Okay..agak serius nih. Hari itu memang hari bersejarah buatku, karena hari itu Ta resmi mendua alias jadi istri orang. Yah setelah sering kali ditinggal nikah sama teman-teman yang lain, setidaknya Ta bukan yang terakhir - Ta nomor 2 dari yang terakhir hehehe.
So, its my marriage day - again..duh - teruussss?
Yah Ta memang mau cerita sedikit tentang upacara pernikahan ala kampung halamanku tercinta - Pulau Nias - walaupun memang sudah sangaaaaattttt dipermudah karena suamiku yang tercinta - ('¤') - bukan orang nias.
Ehem...semoga tidak ada yang alergi dengar kata piggy yah.. Soalnya almost every thing was count as pigs, tapi hanya sekedar perlambangannya saja karena pada akhirnya nilai si piggy diuangkan juga. Kebayang dong kalau binatang yang juga salah satu shio itu tiba-tiba berbaris didepan rumahku yang kecil dan ditengah komunitas muslim (no sara yah, kenyataan soalnya), jumlahnya pun tidak seekor-dua ekor loh tapi ratusan (ndak sampe ribuan kok..muhaaaalll hehehehe).
Sebenarnya sih tahapan-tahapan pernikahan ala orang nias itu banyak dan biasanya menggunakan jasa orang ketiga sebagai perantara yang menghubungkan orang tua pihak pria dan wanita. Tapi untuk kasus kami, well..perantara itu hanya dipakai saat acara adat saja - yah, simbolis. Berhubung suamiku orang NTT dan orangtuanya tinggal didaerah Sumba lalu orangtuaku di Palembang sementara kami berdua tinggal di Kota lain pula karena pekerjaan (cinlok ceritanya hehehe..), so everything is easier if we do it our self.
Marriage process start-priiiitttt...... (lebay.com)
Dalam pernikahan Nias dimulai dengan pencarian jodoh, ups..jangan kebayang seperti acara 'kontak jodoh' yah. Proses ini dilakukan diam-diam oleh calon mempelai pria dan/atau keluarganya karena mempelai wanita (tradisional) tidak boleh menunjukkan dirinya dihadapan sang pria dan keluarga sampai upacara pernikahan (duh..). Dalam tradisi nias juga, si anak gadis tidak diperlukan persetujuannya alias asal ortu oke sama oke yah lanjut.
Setelah ditemukanlah sang gadis pujaan maka si perantara akan menemui orang tua sang gadis untuk bertanya apakah anaknya masih free dan mau menerima calon mempelai pria.
In my case, nope. Proses itu langsung kami lakukan sendiri hahaha....iya dong, masa sih mau nikahin kucing dalam karung. So, calonku mendatangi secara langsung dan bilang mau menjadikan diriku istrinya (terpesona pada pandangan pertama dia..tapi baru 'nembak' setelah setahun temenan :-D). Yah ku bilang silahkan coba jadikan Ta istri - sadar soalnya kewajiban adat yang menanti hahaha. Setelah Ta bilang oke, baru deh kita pe-de-ka-te (nah lo.. Kebalik hahaha). Selanjutnya yah tidak jauh beda dengan pasangan-pasangan lain yang 'berpacaran' (tapi dia tidak mau disebut pacarku, katanya sih status 'pacar' akan membuat dia merasa punya hak untuk..ehem..ehem..yaaaahhh..ala pacaran orang gedelah... Tapi bukan berarti boleh pacaran dengan orang lain loh ya..- kan sudah komitment nikah!).
Setelah kami sama-sama yakin, barulah dia sendiri yang mendatangi orangtuaku untuk melamar. Sebenarnya - kata orangtuaku - aneh rasanya dia datang sendiri karena yah itu, harusnya ada orang ketiga. Tetapi orangtua kami mengerti, disitulah fungsi kami untuk menjelaskan sejelas-jelasnya pada orangtua kami masing-masing mengenai kondisi dan keinginan kami juga menjadi penengah. Intinya sih komunikasi yang lancar, lebih murah dan kami sebagai filternya, yang kami rasa akan sulit kami peroleh jika menggunakan jasa orang ketiga.
Setelah orangtuaku menerima, kini saatnya keluarga dia menemui keluarga kami. Peran kami berikutnya - menjelaskan kepada keluarga. Suamiku bertugas menjelaskan apa-apa yang harus mereka siapkan pada keluarganya (sesuai petunjuk keluargaku) dan aku nego sama orangtuaku. Yah pertimbangan jarak yang jauh, waktu yang pasti lebih dari 2 hari, biaya besar dan kemampuan fisik calon mertua yang sudah tak muda lagi, keluarga suami meminta 'kalau bisa' pertemuan keluarganya dipadatkan jadi mereka 'kalau bisa' datang ke Palembang cukup dua kali yaitu saat melamar dan saat pernikahan.
Acara lamaran di Nias itu terbagi 3:
1.Pertunangan (famatua)
2.Kunjungan mempelai pria ke rumah mertua (Famoro)
3. Penentuan jujuran -semacam mahar (fanema bola)
Acara-acara itu biasanya dilaksanakan terpisah dengan jarak kurang lebih 1 minggu (kata mommy q loh..). Kebayang dong berapa kali keluarga suamiku harus bolak-balik Sumba-Palembang, mau tinggal di Palembang lama-lama juga tidak bisa. Akhirnya dengan segala negosiasi yang kami lakukan, tiga acara itu digabung jadi satu.
Waktu hari H pertunangan, Ta dikurung didapur :(.
Alasannya tidak boleh kelihatan tamu undangan, tadinya sih diminta tinggal dalam kamar saja tapi dikamar tidak ada toiletnya terus pintu kamarku nyambung langsung ke ruang tengah tempat acara berlangsung.
Sebenarnya melalui telepon dan juga sehari sebelum hari H keluarga kami sudah bertemu secara pribadi alias pertemuan 12 mata untuk membicarakan jumlah jujuran dan lain-lain. Maksudnya agar tidak ada perdebatan yang berkepanjangan nantinya (pengalaman mommy waktu merid, 12 jam hanya untuk membahas jujuran-itu aja dah dibilang cepet loh.)

Nah, saudara-saudara, waktu dikurung itu diriku didatangi beberapa ibu-ibu. Awalnya Ta pikir mereka cuma mau ketemu en ngobrol-ngobrol doang, ternyata eh ternyata, Ta diminta -sorry- menanggalkan pakaian (oh..nooooo), malunyaaaaaa >.<.
Ceritanya sih tim ibu-ibu itu mewakili keluarga calon besan buat nge-cek (hiks..) kondisi fisik si calon mempelai wanita (ibarat membeli barang T.T ) agar tidak lecet, perawan ting-ting, memastikan kalau si calon mempelai tidak hamil duluan.
Setelah pengecekan yang mendetail tersebut, diriku akhirnya dipasangi kerudung dan dibawa untuk bersanding menemui calon mempelai pria. Dengan keluarnya diriku dari persembunyian, berarti nilai jujuran telah mencapai kesepakatan.
Acara pun berlanjut ke acara Famee (acara membuat menangis, harusnya sih Ta menangis malam itu tapi berhubung yang hadir itu rata-rata orang Nias perantauan yang udah nggak saklek lagi soal adat, Ta jadinya malah dibuat senyum-senyum karena mereka suka bercanda). Malam Famee itu pada hakekatnya adalah malam pelepasan, orang-orang tua memberi nasihat dan pesan-pesan kepada kedua calon mempelai. Kalau di kampung, malam itu akan terasa amat menyedihkan soalnya setelah menikah berarti si wanita bukan lagi hak milik orang tuanya dan -bisa jadi- tidak bisa mengunjungi orang tuannya tanpa ijin keluarga suami. Setelah semua orang tua yang ditunjuk telah menyampaikan pesan dan nasihat-nasihatnya, acara pun ditutup dengan pembagian potongan daging babi sesuai posisi penerima dalam masyarakat dan keluarga dan dengan doa bersama agar acara pernikahan berjalan lancar dan langgeng sampai kakek nenek serta dikaruniai keturunan dan rejeki yang banyak.